Senin, 08 Agustus 2011

hey don't Care about Your Popularity

Sekelompok perempuan berbalut pakaian hitam menghampiri di Masjid Nabawi, Madinah. ''Indonesia ... Indonesia ...,'' mereka berseru, memanggil-manggil.

Saya menoleh. Wajah saya mungkin serupa dengan orang-orang Filipina, Malaysia, atau Thailand bagian selatan. Tapi, perempuan-perempuan itu begitu yakin bertemu saudara setanah air karena peci hitam di kepala saya. ''Apa kabar Indonesia? Siapa presiden kita sekarang?'' tanya seorang di antara mereka, antusias.

Mereka adalah sekelompok tenaga kerja asal Indonesia di Arab Saudi. Mereka beruntung mendapatkan peluang, dari para majikan, untuk menunaikan ibadah haji. Di Masjidil Haram, Makkah, saya pun sempat bersua dengan kelompok seperti mereka. Lucunya, seakan telah menjadi kelaziman, pertanyaan pertama mereka adalah, ''Siapa presiden kita sekarang?''

Ah, apakah mereka tidak pernah punya kesempatan menonton televisi atau membaca koran? Apakah sehari-hari mereka cuma di dapur? Apakah mereka tidak ikut mencoblos saat pemilihan presiden berlangsung? Apakah KBRI tak cukup bekerja untuk mereka? Bukankah pemerintahan baru telah berjalan nyaris 100 hari di kala itu?

Entahlah. Saya tak sempat bertanya. Saya mencoba menghapus keingintahuan mereka. ''SBY,'' jawab saya.

''SBY?''
''Ya, Yudhoyono.''
''Yudhoyono?''
''Susilo Bambang Yudhoyono.''
''Susilo Bambang Yudhoyono?''
''Dulu menteri di zaman Gus Dur dan Megawati.'' Saya
mencoba membuka ingatan mereka.
''Ooo, presidennya bukan Gus Dur lagi?''
''Bukan Megawati?''
Untungnya, tak seorang pun di antara mereka yang
nyeletuk, ''Bukan Soeharto lagi?''

Sekitar tiga pekan setelah perjumpaan dengan para TKI di Tanah Suci, saya mendengar tokoh yang menjadi pokok perbincangan itu berujar di Jakarta, ''I don't care about my popularity.'' Ia, rupanya, tak dapat menyembunyikan kejengkelan karena 100 hari kerja kerasnya tak cukup mendapat apresiasi. Politisi, pengamat, bahkan lembaga penelitian plat merah menganggap kinerja kabinetnya buruk dan popularitasnya sebagai presiden anjlok.

Sebagai presiden pilihan langsung rakyat, sebenarnya SBY telah membuktikan betapa populer dirinya. Partai yang mengusung namanya hanyalah partai kecil, tapi perolehan suara dirinya untuk menjadi presiden jauh melampaui calon-calon dari partai raksasa. Aneh juga, kepopulerannya ternyata tak mampu melampaui batas negara. Namanya asing di kalangan pekerja migran kita di Arab Saudi.

Lagi-lagi, kita menghadapi kenyataan pahit bahwa para TKI sebenarnya tak cukup mendapat perhatian serius. Kita tak bisa menyalahkan MUI yang mengeluarkan fatwa larangan pemberangkatan TKW tanpa muhrim. Karena, bagaimanapun, syarat ''adanya jaminan perlindungan dari pemerintah'' tidak pernah terpenuhi. Jangankan perlindungan. Sekadar perhatian pun--yang membuat mereka tak lagi bertanya-tanya siapakah presiden mereka saat ini?--tak mereka rasakan.

Mereka terbiasa menghadapi persoalan sendiri--dan menyelesaikannya sendiri. Saat tertindas, mereka melakukan perlawanan diam-diam, sendiri. Mereka bertahan dengan modal kemampuan menggerutu di belakang majikan atau PJTKI. Para pekerja migran itu tidak menuntut banyak dari siapa pun pemimpin bangsa mereka. Jadi, jangan khawatir, they don't care about your popularity.

Kita akan selalu menoleh ke Filipina jika bicara tentang perhatian pada pekerja migran. Nama presiden mereka selalu populer di kalangan tenaga kerja Filipina yang tersebar di seluruh dunia, dari ladang minyak di Qatar, barber shop di Jeddah, rumah mode di Paris, hingga rumah sakit di pelosok Nunavut, Kanada. Cory Aquino begitu populer ketika ia menyelamatkan Sarah Balabagan yang terancam hukuman mati di Timur Tengah. Sarah, wanita Muslim dari bagian selatan Filipina, semula tenaga kerja rumah tangga--seperti kebanyakan TKW kita. Namun, perhatian Aquino membuatnya jadi pahlawan para pekerja migran, menjadikan perjalanan hidupnya sebagai tema film.

Gloria Macapagal Arroyo melakukan hal serupa. Ia berani bertentangan dengan negara sekutu terdekatnya, Amerika Serikat, demi menyelamatkan nyawa seorang sopir. Ia menarik tentara dari Irak agar sang sopir dilepas dari penyanderaan. Sebelumnya, ia memilih menjemput pekerjanya yang terusir dari Malaysia dan membatalkan kunjungan ke luar negeri. Presiden kita merasa telah cukup bekerja keras. Ia juga telah menunjukkan niat baiknya dalam berbagai hal. Tapi, niat baik dan kerja keras tidak memadai jika tidak disertai dengan ketepatan tindakan.

Soal TKI, misalnya, bukan tugas pemerintah kita untuk membantah bahwa telah terjadi pencambukan. Pemerintah Malaysia yang harus menjawab itu. Urusan kita justru mencari tahu, misalnya, mengapa TKI Hiranimus Gasa kehilangan ingatan setelah ditahan kepolisian Malaysia. TKI perlu perlindungan dari majikan yang zalim, polisi yang keji, PJTKI yang rakus, petugas bandara yang korup, preman angkutan yang semena-mena. Sebagaimana presiden merasa tak perlu popularitas, mereka pun tak butuh sekadar gelar ''pahlawan devisa''.
(Arys Hilman )
Diposkan 10 Agustus 2011, oleh suprastyo

Tidak ada komentar:

Posting Komentar