Minggu, 14 Agustus 2011

pengertian nuansa agamis/

Pengertian Nuansa Agamis
Pengertian nuansa Agamis tidak lepas dari pembiasaan perilaku dalam kehidupan sehari-hari baik di rumah, di sekolah maupun di ligkungan tempat-tempat tinggalnya selalu menunjukkan tingkah laku yang berdasarkan etika atau ajaran agama khususnya agama Islam, dalam hal ini tidak begitu saja anak bisa melakukannya tanpa adanya bimbingan maupun contoh konkrit dari penglihatan kesehariannya tingkah laku atau perilaku pendidik orang tua maupun lingkungan sekitar, semua dapat mempengaruhi perilaku anak tersebut.
Ungkapan Dr. Abdullah Nashih Ulwan dalam bukunya Pendidikan Anak dalam Islam / Penerbit Pustaka Amani Jakarta pasal 11 tentang Tanggung Jawab Pendidikan Moral disebutkan bahwa yang dimaksud pendidikan moral adalah serangkaian prinsip dasar moral dan keutamaan sikap watak (tabiat) yang harus dimiliki dan dijadikan kebiasaan oleh anak sejak masa pemula hingga ia menjadi seorang mukalaf, yakni siap mengarungi lautan kehidupan.
Termasuk persoalan yang tidak diragukan lagi bahwa moral, sikap dan tabiat merupakan salah satu buah iman yang kuat dan pertumbuhan sikap keberagamaan seseorang yang benar.
Jika sejak masa kanak-kanaknya ia tumbuh dan berkembang dengan berpijak pada landasan iman kepada Allah dan terdidik untuk selalu takut, ingat, pasrah, meminta pertolongan dan berserah diri kepada-Nya, ia akan memiliki kemampuan dan bekal pengetahuan di dalam menerima setiap keutamaan dan kemuliaan, disamping terbiasa dengan sikap akhlak mulia. Sebab benteng pertahanan religius yang berakar pada hati sanubarinya, kebiasaan mengingat Allah yang telah dihayati dalam dirinya dan introspeksi diri yang telah menguasai seluruh pikiran dan perasaan. Telah memisahkan anak dari sifat-sifat jelek, kebiasaan-kebiasaan dosa, dan tradisi-tradisi jahiliyah yang rusak. Bahkan setiap kebaikan akan diterima menjadi salah satu kebiasaan dan kesenangan, dan kemuliaan akan menjadi akhlak dan sifat yang paling utama.
Ghandi tokoh pimpinan India, dalam buku yang berjudul pendidikan anak dalam Islam yang disusun oleh Prof. Abdullah Nashih Ulwan dan diterbitkan oleh Pustaka Armani Jakarta mengatakan, “Agama dan moral yang luhur adalah salah satu kesatuan yang tak terpisahkan. Agama adalah ruh moral, sedangkan moral merupakan cuaca bagi ruh itu. Dengan kata lain agama memberikan makan, menumbuhkan dan membangkitkan moral seperti halnya air memberikan makan dan menumbuhkan tanaman.”
Dan tidak ada yang menyangkal, bahwa anak akan tumbuh dengan iman yang benar, berhiaskan diri dengan etika islami, bahkan sampai pada puncak nilai-nilai spiritual yang tinggi, dan keribadian yang utama, jika ia hidup dengan dibekali dua factor: pendidikan islami yang utama dan lingkungan yang baik
Kaitannya dengan factor pendidikan yang islami, Rosulullah SAW telah menegaskannya dalam banyak hadits yang diantaranya ::
أَدِّبُوْا أَوْلاَدَكُمْ وَأَحْسِنُوْأَدَابَهُمْ (رواه ابن مزه)
“Didiklah anak-anak kalian dan didiklah mereka dengan budi pekerti yang baik” (HR. Ibnu Majah) dari buku (Pendidikan Anak Dalam Islam Oleh Abdullah Nashih Ulwan, 1999:277)
عَلِّمُوْا أَوْلاَدَكُمْ وَأَهْلِيْكُمُ الْخَيْرَوَأَدِِّبُوْهُمْ (رواه عبدالرزاق وسعيد بن منصور)
“Ajarilah anak-anak dan keluargamu kebaikan, dan didiklah mereka.” (HR.Abdur Razaq dan Sa’id bin Manshur) dari buku (Pendidikan Anak Dalam Islam Oleh Abdullah Nashih Ulwan, 1999:186)
مَانَحَلَ وَالِدٌ وَلَدًا أَفْضَلُ مِنْ أَدَبٍ حَسَنٍ (رواه الترمذي)
“Tidak ada pemberian yang lebih baik dari seorang ayah kepada anaknya daripada akhlak yang baik.” (HR.Tirmidzi) dari buku (Pendidikan Anak Dalam Islam Oleh Abdullah Nashih Ulwan, 1999:186)
Berdasarkan hadits di atas, dapat disimpulkan bahwa para pendidik, ayah, ibu dan guru mempunyai tanggung jawab yang sangat besar dalam mendidik anak-anak dengan kebaikan dan dasar-dasar moral.
Dalam bidang moral ini, tanggung jawab pendidik meliputi masalah perbaikan jiwa mereka atau dengan kata lain bertanggung jawab untuk mendidik anak-anak sejak kecil (di usia taman kanak-kanak) untuk berlaku benar, dapat dipercaya, istiqomah, mementingkan orang lain menolong teman yang membutuhkan bantuan, menghargai orang tua, menghormati tamu, berbuat baik kepada tetangga, mencintai orang lain, tidak berkata kotor dan tidak melakukan perbuatan tercela.
Sedangkan yang tertuang dalam Kurikulum 2004, standar kompetensi Taman Kanak-kanak dan Roudhatul Athfal Departemen Pendidikan Nasional Jakarta, yang perlu dicapai dalam hal pembentukan perilaku, moral dan nilai-nilai agama, sosial, emosional, dan kemandirian antara lain sebagai berikut
Dapat berdoa/menyanyi lagu keagamaan, mengenal agama dan ibadah, mengenal dan menyayangi ciptaan Tuhan, memiliki sopan santun, mulai tumbuh disiplin, bersikap/berperilaku saling hormat menghormati, bersikap ramah, tumbuhnya sikap kerja sama, mulai dapat menunjukkan rasa percaya diri dan kepedulian, dapat menjaga kebersihan dan mengurus dirinya sendiri, dapat menjaga lingkungan, mulai dapat menunjukkan emosi yang wajar dan mengendalikan tindakan dan perasaannya, tertib dan patuh pada peraturan, dapat menjaga keamanan diri sendiri dan mulai dapat bertanggung jawab.
Merupakan tanggung jawab besar bagi pendidik atas pendidikan anak, baik yang berkenaan dengan iman, moral, mental, jasmani maupun rohani di jaman modern ini, supaya tujuan utama untuk menciptakan nuansa agamis bisa tercapai diantaranya seorang pendidik harus pandai dalam menemukan rumusan-rumusan maupun metode yang tepat, salah satunya adalah Metode Keteladanan
Keteladanan merupakan metode yang berpengaruh dan terbukti paling berhasil dalam mempersiapkan dan membentuk aspek moral, spiritual, dan etos sosial anak. Mengingat pendidik adalah seorang figure terbaik dalam pandangan anak, yang tindak tanduk dan sopan santunnya, disadari atau tidak, akan ditiru oleh mereka. Bahkan bentuk perkataan, perbuatan dan tindak tanduknya, akan senantiasa tertanam dalam kepribadian anak.
Contoh :
Secara rutinitas, anak memperhatikan tindak tanduk kita sebagai pendidik yang selalu menebarkan senyum kasih sayang dan penuh perhatian juga selalu mengucapkan salam, anak pasti akan meniru tanpa disengaja dan ikhlas melakukannya
Seorang anak, Bagaimana pun besarnya usaha yang dipersiapkan untuk kebaikannya, Bagaimana pun sucinya fitrah, ia tidak akan mampu memenuhi prinsip-prinsip dan pokok-pokok pendidikan utama, selama ia tidak melihat sang pendidik sebagai teladan dari nilai-nilai moral yang tinggi. Adalah sesuatu yang sangat mudah bagi pendidik, yaitu mengajari anak dengan berbagai materi pendidikan, akan tetapi adalah sesuatu yang sangat sulit bagi anak untuk melaksanakannya ketika ia melihat orang yang memberikan pengarahan dan bimbingan kepadanya tidak mengamalkannya.

Jumat, 12 Agustus 2011

Senin, 08 Agustus 2011

hey don't Care about Your Popularity

Sekelompok perempuan berbalut pakaian hitam menghampiri di Masjid Nabawi, Madinah. ''Indonesia ... Indonesia ...,'' mereka berseru, memanggil-manggil.

Saya menoleh. Wajah saya mungkin serupa dengan orang-orang Filipina, Malaysia, atau Thailand bagian selatan. Tapi, perempuan-perempuan itu begitu yakin bertemu saudara setanah air karena peci hitam di kepala saya. ''Apa kabar Indonesia? Siapa presiden kita sekarang?'' tanya seorang di antara mereka, antusias.

Mereka adalah sekelompok tenaga kerja asal Indonesia di Arab Saudi. Mereka beruntung mendapatkan peluang, dari para majikan, untuk menunaikan ibadah haji. Di Masjidil Haram, Makkah, saya pun sempat bersua dengan kelompok seperti mereka. Lucunya, seakan telah menjadi kelaziman, pertanyaan pertama mereka adalah, ''Siapa presiden kita sekarang?''

Ah, apakah mereka tidak pernah punya kesempatan menonton televisi atau membaca koran? Apakah sehari-hari mereka cuma di dapur? Apakah mereka tidak ikut mencoblos saat pemilihan presiden berlangsung? Apakah KBRI tak cukup bekerja untuk mereka? Bukankah pemerintahan baru telah berjalan nyaris 100 hari di kala itu?

Entahlah. Saya tak sempat bertanya. Saya mencoba menghapus keingintahuan mereka. ''SBY,'' jawab saya.

''SBY?''
''Ya, Yudhoyono.''
''Yudhoyono?''
''Susilo Bambang Yudhoyono.''
''Susilo Bambang Yudhoyono?''
''Dulu menteri di zaman Gus Dur dan Megawati.'' Saya
mencoba membuka ingatan mereka.
''Ooo, presidennya bukan Gus Dur lagi?''
''Bukan Megawati?''
Untungnya, tak seorang pun di antara mereka yang
nyeletuk, ''Bukan Soeharto lagi?''

Sekitar tiga pekan setelah perjumpaan dengan para TKI di Tanah Suci, saya mendengar tokoh yang menjadi pokok perbincangan itu berujar di Jakarta, ''I don't care about my popularity.'' Ia, rupanya, tak dapat menyembunyikan kejengkelan karena 100 hari kerja kerasnya tak cukup mendapat apresiasi. Politisi, pengamat, bahkan lembaga penelitian plat merah menganggap kinerja kabinetnya buruk dan popularitasnya sebagai presiden anjlok.

Sebagai presiden pilihan langsung rakyat, sebenarnya SBY telah membuktikan betapa populer dirinya. Partai yang mengusung namanya hanyalah partai kecil, tapi perolehan suara dirinya untuk menjadi presiden jauh melampaui calon-calon dari partai raksasa. Aneh juga, kepopulerannya ternyata tak mampu melampaui batas negara. Namanya asing di kalangan pekerja migran kita di Arab Saudi.

Lagi-lagi, kita menghadapi kenyataan pahit bahwa para TKI sebenarnya tak cukup mendapat perhatian serius. Kita tak bisa menyalahkan MUI yang mengeluarkan fatwa larangan pemberangkatan TKW tanpa muhrim. Karena, bagaimanapun, syarat ''adanya jaminan perlindungan dari pemerintah'' tidak pernah terpenuhi. Jangankan perlindungan. Sekadar perhatian pun--yang membuat mereka tak lagi bertanya-tanya siapakah presiden mereka saat ini?--tak mereka rasakan.

Mereka terbiasa menghadapi persoalan sendiri--dan menyelesaikannya sendiri. Saat tertindas, mereka melakukan perlawanan diam-diam, sendiri. Mereka bertahan dengan modal kemampuan menggerutu di belakang majikan atau PJTKI. Para pekerja migran itu tidak menuntut banyak dari siapa pun pemimpin bangsa mereka. Jadi, jangan khawatir, they don't care about your popularity.

Kita akan selalu menoleh ke Filipina jika bicara tentang perhatian pada pekerja migran. Nama presiden mereka selalu populer di kalangan tenaga kerja Filipina yang tersebar di seluruh dunia, dari ladang minyak di Qatar, barber shop di Jeddah, rumah mode di Paris, hingga rumah sakit di pelosok Nunavut, Kanada. Cory Aquino begitu populer ketika ia menyelamatkan Sarah Balabagan yang terancam hukuman mati di Timur Tengah. Sarah, wanita Muslim dari bagian selatan Filipina, semula tenaga kerja rumah tangga--seperti kebanyakan TKW kita. Namun, perhatian Aquino membuatnya jadi pahlawan para pekerja migran, menjadikan perjalanan hidupnya sebagai tema film.

Gloria Macapagal Arroyo melakukan hal serupa. Ia berani bertentangan dengan negara sekutu terdekatnya, Amerika Serikat, demi menyelamatkan nyawa seorang sopir. Ia menarik tentara dari Irak agar sang sopir dilepas dari penyanderaan. Sebelumnya, ia memilih menjemput pekerjanya yang terusir dari Malaysia dan membatalkan kunjungan ke luar negeri. Presiden kita merasa telah cukup bekerja keras. Ia juga telah menunjukkan niat baiknya dalam berbagai hal. Tapi, niat baik dan kerja keras tidak memadai jika tidak disertai dengan ketepatan tindakan.

Soal TKI, misalnya, bukan tugas pemerintah kita untuk membantah bahwa telah terjadi pencambukan. Pemerintah Malaysia yang harus menjawab itu. Urusan kita justru mencari tahu, misalnya, mengapa TKI Hiranimus Gasa kehilangan ingatan setelah ditahan kepolisian Malaysia. TKI perlu perlindungan dari majikan yang zalim, polisi yang keji, PJTKI yang rakus, petugas bandara yang korup, preman angkutan yang semena-mena. Sebagaimana presiden merasa tak perlu popularitas, mereka pun tak butuh sekadar gelar ''pahlawan devisa''.
(Arys Hilman )
Diposkan 10 Agustus 2011, oleh suprastyo

Kisah Alqur'an (dalam studi komperatif antara fakta sejarah dan analisa sastra)

Oleh Yusuf Baihaqi*

Muqaddimah

Kisah dalam Al-Qur'an menduduki peranan yang sangat vital ditilik dari sisi keberadaan dan ruangnya, dari sisi keberadaannya kita dapatkan kisah Al-Qur'an merupakan bagian dari uslub Al-Qur'an yang sangat urgen, lebih-lebih disaat terjadi polemik yang sengit antara kaum mukmin dan kafir, atas dasar itulah kita tidak mendapatkan kisah Al-Qur'an pada surat-surat permulaannya kecuali sebatas isyarat-isyaratnya saja yang bersifat abstrak, melainkan diturunkan disaat situasi dan metodologi dakwah baru yang bersifat transparan membutuhkannya. Fenomena ini didasari dari kebuTuhan kaum mukmin akan pemantapan keimanan dan keyakinan mereka terhadap aqidah baru yang diyakininya sebagaimana juga sebagai peringatan bagi musuh-musuh mereka akan sunnatullah yang berlaku di alam raya ini dan akibat serta kesudahan dari komunitas-komunitas masyarakat sebelumnya dalam berinteraksi dengan rasul-rasul mereka.

Disamping kedua tujuan diatas kisah Al-Qur'an juga memiliki tujuan-tujuan lain yang erat kaitannya dengan masalah pendidikan dan akhlak disamping penemuan-penemuan baru yang bersifat ilmiah maupun peradaban (hadlâriyah). Adapun kalau kita tilik dari sisi ruang maka kita akan mendapatkan besarnya kuantitas ruang ayat-ayat kisah dalam Al-Qur'an yang mencapai seperempat bahkan lebih dari jumlah ayat ayat Al-Qur'an secara keseluruhan, hingga menunjukkan betapa tinggi dan pentingnya kedudukan kisah dalam Al-Qur'an.

Atas dasar itulah pembahasan topik "kisah Al-Qur'an" dalam makalah ini kami anggap sangatlah tepat dalam upaya untuk menguak hakikat kisah Al-Qur'an itu sendiri dilihat dari realita sejarah, uslub pemaparannya serta maksud dan tujuan kisah dalam Al-Qur'an, dengan harapan metodologi pemahaman kita khususnya dalam berinteraksi dengan “ayat-ayat kisah” bisa lebih efisien dan akurat sehingga kita dapat mengarungi mutiara-mutiara hikmah dibalik pemaparan kisah Al-Qur'an.

Adapun tema-tema yang berusaha kami jabarkan dalam makalah ini adalah sebagai berikut :

- Kisah Al-Qur'an dalam pandangan sejarawan;

- Kisah Al-Qur'an dan Taurat;

- Perbandingan antar kisah Al-Qur'an dengan riwayat-riwayat Taurat dan Injil;

- Thoha Husein dan kisah Al-Qur'an;

- Muhammad Ahmad khalfullah dan kisah Al-Qur'an;

- kesimpulan.



Kisah Al-Qur'an dalam pandangan para sejarawan



Para sejarawan memandang bahwa Al-Qur'an merupakan sumber sejarah yang paling otentik dan valid bila dikomparasikan dengan sumber-sumber sejarah lainnya, hal ini bila dilihat dari aspek kredibilitas periwayatannya disamping keberadaannya sebagai kitab Allah yang “tidak mengandung kebatilan baik dari depan maupun dari belakangnya, melainkan diturunkan dari Tuhan yang Mahabijaksana lagi Mahatinggi” (41:42). Atas dasar itulah sangatlah tidak logis bagi mereka untuk meragukan keabsahan teks-teks Al-Qur'an dalam kondisi apapun, dikarenakan Al-Qur'an dalam pandangan mereka merupakan sebuah dokumen sejarah yang tidak bisa diragukan lagi keabsahannya.1 Dikarenakan kisah Al-Qur'an merupakan bagian dari teks Al-Qur'an, mereka berpendapat bahwasannya kisah Al-Qur'an bila ditilik dari aspek kejadiannya merupakan sebuah realita sejarah, disamping mereka memandang bahwasannya kisah Al-Qur’an merupakan sebuah rentetan kejadian dan pemberitaan historis yang jauh dari unsur-unsur yang bersifat utopian dan fiktif.2 Walaupun, demikian ternyata lapangan kajian sejarah klasik tidak banyak menaruh perhatian terhadap pemberitaan-pemberitaan yang dibawa oleh Al-Qur’an mengingat terlalu dominannya karya para orientalis dalam sumber kepustakaan mereka atau perasaan riskan dari sebagian sejarawan muslim dalam mengkaji lebih mendalam akan kejadian-kejadian sejarah dalam Al-Qur’an. Yang jelas fenomena diatas diakui atau tidak merupakan sebuah kerugian besar dalam lapangan kajian sejarah klasik, karena telah mengabaikan sebuah sumber sejarah yang paling otentik dan berharga, bahkan lebih dari itu bahwasannya para sejarawan kontemporer baik itu dari kalangan barat maupun timur (muslim atau non muslim) dalam mengambil rujukan kajian dan riset cenderung untuk lebih melihat kepada Taurat dibandingkan Al-Qur’an, seakan-akan Taurat dalam pandangan mereka merupakan rujukan standar dalam kajian beberapa periode tertentu dari kajian sejarah klasik, walaupun adanya pengetahuan dan pengakuan dari mayoritas mereka akan lemahnya kredibilitas periwayatannya, disamping adanya ratusan hasil riset dan kajian mereka-mereka yang mempercayai Taurat (lebih-lebih mereka yang tidak mempercayainya) yang menyangsikan orisinilitas teks-teksnya bahkan dalam penisbatan sebuah teks terhadap sosok seseorang yang tercantum didalamnya.3

Akan tetapi, sungguh sangat disayangkan sekali bahwasannya fenomena di atas ternyata tidak banyak menggugah mereka untuk merujuk kepada Al-Qur’an, sebuah kitab suci yang para cendikiawan telah bermufakat akan orisinilitas teks-teksnya, seperti yang diungkapkan oleh Sir William Muir, salah seorang cendikiawan yang memilliki kadar antagonisme yang tinggi terhadap Islam: “Sesungguhnya tidak ada di dunia ini satu bukupun kecuali Al-Qur’an dimana dalam kurun 14 abad lamanya ia tetap menampilkan keorisinilan dan keakurasiannya”.4

Demikian dan sungguh tidak diragukan lagi bahwasannya Al-Qur’an telah banyak memberikan kepada kita melalui kisahnya informasi-informasi yang sangat urgen dan otentik tentang masa-masa lampau sebelum Islam baik itu dari aspek sosial, politik maupun ekonominya. Hal ini sebagaimana yang diberitakan Al-Qur’an lewat kisah kalim Allah Musa as. tentang kerajaan Tuhan di masa raja-raja Fir‘aun Mesir,5 dimana pemberitaan-pemberitaan ini merupakan bagian dari bukti nyata akan kebenaran firman-firmanNya sebagaimana yang termaktub dalam surat Ali-Imran:44, “Yang demikian ini adalah sebagian dari berita-berita ghaib yang kami wahyukan kepada kamu (Ya Muhammad) padahal kamu tidak hadir beserta mereka ketika mereka melemparkan anak-anak panah mereka (untuk mengundi) siapa diantara mereka yang akan memelihara Maryam. Dan kamu tidak hadir di sisi mereka ketika mereka bersengketa.”

Walaupun demikian, bukanlah berarti bahwasannya Al-Qur’an merupakan buku sejarah yang menceritakan keadaan umat-umat yang terdahulu sebagaimana para sejarawan menceritakannya, melainkan ia merupakan sebuah buku pedoman dan petunjuk yang diturunkan oleh Tuhan untuk dijadikan sebagai pijakan hidup dan bimbingan bagi kaum muslimin untuk menganut ajaran monotheisme, disamping sebagai landasan bagi mereka dalam berakhlak,berlaku adil dan menyimpulkan sebuah hukum. Sebagaimana Rasyid Ridho juga menulis bahwa pemberitaan alquran tentang fakta-fakta sejarah tidaklah melainkan sebatas untuk dijadikan sebagai pelajaran dan suri tauladan.6

Kisah Alquran dan Taurat

Tidaklah benar apa yang dikemukakan oleh para orientalis bahwa sesungguhnya alquran telah banyak mengadopsi kisah-kisahnya dari Taurat dan Injil,7 bahkan lebih dari itu, ada sekelompok cendikiawan Arab yang berpendapat bahwasannya kisah Al-Qur’an hanya merupakan bentuk salinan dari kitab-kitab sebelumnya, sehingga imajinasi kita seakan-akan mengatakan bahwasannya tolak ukur dan standar pembenaran dan pembuktiannya dilihat dari sisi historis dan denotasinya terhadap risalah dan kenabian adalah harus adanya kesamaan dengan pemberitaan-pemberitaan yang dikenal oleh para Ahli Kitab.8

Kedua pernyataan diatas kalaulah kita hendak obyektif untuk mengkajinya lebih mendalam lagi sangatlah tidak representatif, hal ini didasari atas beberapa argumen:

1. Rasulullah tidak pernah mengadakan perjalanan keluar Makkah kecuali ketika beliau berumur 9 dan 25 tahun dalam sebuah perjalanan yang sangat singkat sekali sehingga tidak sedikit yang menyangsikan akan tuduhan diatas, disamping tidak adanya isyarat dalam Al-Qur’an akan adanya indikasi-indikasi adopsi dari agama Nasrani. Walaupun Rasulullah pada saat itu mengadakan interaksi dengan agama Nasrani, akan tetapi ajaran agama Nasrani yang ditemukan oleh beliau adalah yang telah terdistorsi dan sudah jauh melenceng dari ajaran aslinya, hal ini disebabkan oleh keserakahan para pemuka agamanya serta polemik sengit yang terjadi diantara mereka disebabkan oleh permasalahan-permasalahan yang sifatnya sepele. Sungguh sangatlah tepat apa yang dilakukan oleh Abdullah Darraz dalam menggambarkan fenomena diatas sebagai sebuah aplikasi dari penafsiran firman Allah dalam surat Al-Maidah:14 (Dan di antara orang-orang yang mengatakan, “Sesungguhnya kami ini adalah orang-orang Nasrani”, ada yang telah kami ambil perjanjian mereka tetapi mereka (sengaja) melupakan sebagian dari apa yang mereka telah diberi peringatan dengannya. Maka kami timbulkan diantara mereka permusuhan dan kebencian sampai hari kiamat dan kelak Allah akan memberitakan kepada mereka apa yang selalu mereka kerjakan). Hal ini jugalah yang telah mendorong Huart untuk menyimpulkan bahwasannya gagasan yang menyatakan banyaknya pengaruh agama Nasrani dalam pola berpikirnya seorang reformis muda (Rasulullah) disebabkan apa yang beliau saksikan terhadap penerapan ajaran agama Nasrani di Syria sangatlah tidak beralasan, hal ini dikarenakan lemah dan kurang akuratnya dokumen-dokemen dan bukti-bukti sejarah yang menunjukkan akan hal itu secara valid.9

2. Pribadi Rasulullah sebagai seorang yang “ummi” tidak mmbaca dan menulis dan keberadaannya yang jauh dari komunitas Ahl-kitab, sehingga tidak memungkinkannya untuk menimba ilmu dari mereka. Pada saat yang sama kondisi intelektual kaumnya yang sangat rendah dimana ilmu pengetahuan yang sampai kepada mereka hanyalah sebatas yang bersifat natural dan retorika dan tidak adanya sebuah balai pendidikan tempat bagi mereka untuk saling belajar dan mengajar, hal ini sebagaimana yang digambarkan oleh Al-Qur’an dalam surat Jum'at::2 (Dialah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang Rasul di antara mereka, yang membacaakan ayat-ayatnya kepada mereka, mensucikan mereka dan mengajarkan kepada mereka al-kitab dan hikmah, dan sesungguhnya mereka sebelumnya benar-benar dalam kesesatan yang nyata). Adapun perjalanan mereka pada musim panas dan dingin ke negeri Syam dan Yaman hanyalah sebatas untuk berdagang dan tidak ada sangkut pautnya dengan masalah penyebaran atau perolehan ilmu pengetahuan.10

3. Tidak adanya sebuah pusat kajian yang bersifat agamis baik itu di Makkah maupun daerah-daerah sekitarnya yang menyebarkan ajaran-ajaran kitab suci sebagaimana yang diungkapkan oleh Al-Qur’an.11

4. Kalaulah implikasi ajaran agama Yahudi dan Nasrani benar adanya terhadap lingkungan dan kebudayaan jahiliyyah pada saat itu tentunya akan ada sebuah terjemahan bahasa Arab atas kitab suci mereka, sebuah kenyataan yang tidak bisa terbuktikan secara historis. Bahkan Al-Qur’an dalam salah satu ayatnya menyatakan: “Katakanlah ‘jika kamu mengatakan ada makanan yang diharamkan sebelum Tawrât’, maka bawalah Taurat itu, lalu bacalah dia jika kamu merupakan orang-orang yang benar” (3:93). Ayat ini menggambarkan kepada kita bahwa tidak ada diantara orang Arab saat itu yang menguasai bahasa Ibrani, disamping sebagai bukti kuat akan tidak adanya sebuah terjamah Taurat yang berbahasa Arab.12

5. Adanya perbedaan yang sangat fundamental antara Al-Qur’an dengan Injil dan Taurat dalam beberapa permasalahan yang sifatnya prinsipil, seperti masalah keTuhanan Almasih, penyaliban dan kepercayaan trinitas disamping apa yang diisyaratkan oleh Al-Qur’an dari pendistorsian kaum Nasrani terhadap Injil Isa Almasih.

6. Kita dapatkan bahwasannya surat-surat Makkiyyah-lah yang banyak mengupas fase-fase kisah dalam Taurat secara rinci, dimana kita dapatkan surat-surat Madaniyyah mensarikan pelajaran-pelajaran yang bisa diambil dari paparan kisah diatas bahkan mayoritasnya hanyalah sebatas sindiran-sindiran belaka yang bersifat abstrak.13

7. Tidak adanya seorang gurupun yang mengajari Rasulullah baik itu dari kaumnya maupun ummat-ummat yang lainnya.

Demikianlah dan walaupun kita dapatkan adanya kemiripan dalam beberapa kisah antara Taurat dan Al-Qur’an, tidaklah hal ini berarti bahwa Al-Qur’an mengadopsi Taurat atau bahwasannya Al-Qur’an merupakan bentuk salinan dari Taurat, melainkan disebabkan karena Taurat pada asalnya merupakan sebuah kitab suci samawi dan bahwasannya Islam mempercayai Musa sebagai seorang nabi, rasul dan kalim Allah sebagaimana telah diturunkan kepadanya lembaran-lembaran (shahiifah) dan Taurat, akan tetapi perjalanan sejarah menyatakan bahwa apa yang telah diturunkan kepada Nabi Musa telah banyak didistorsi oleh kaumnya sendiri sehingga selaras dengan propaganda-propaganda yang mereka canangkan. Mereka mengklaim setelah itu bahwasannya ia merupakan Taurat yang pernah diturunkan Tuhan kepada Nabi Mûsâ: “Alangkah jeleknya kata-kata yang keluar dari mulut mereka, mereka tidak mengatakan ‘sesuatu’ kecuali dusta” (18:5).

Perbandingan antara kisah Al-Qur’an dengan riwayat Taurat dan Injil

Akan lebih obyektif kalau kita lakukan sebuah studi komparatif antara kisah Al-Qur’an dengan yang semisalnya dalam Taurat dan Injil dalam upaya untuk membuktikan adanya perbedaan-perbedaan yang karakternya fundamental antara keduannya disamping untuk meyakinkan bahwasannya sumber-sumber yang pertama sama sekali tidaklah berlandaskan kepada yang kedua sebagaimana yang diyakini dan disimpulkan oleh mayoritas orientalis (bahkan dari mereka-mereka yang fanatik) bahwasannya Rasulullah tidaklah pernah membaca Taurat atau buku lain dari buku-buku Ahli Kitab.14

Sebagai satu contoh dari perbandingan diatas adalah dalam konteks siapakah yang dijadikan korban oleh Nabi Ibrahim di antara kedua anaknya tatkala turun perintah dari Tuhan untuk menyembelih anaknya? Sebuah pertanyaan yang jawabannya sampai saat ini masih menjadi polemik antara kaum Yahudi dan Nasrani di satu pihak dan agama Islam pada pihak yang lainnya.



A. Pandangan Yahudi dan Nasrani



Kaum Yahudi dan Nasrani menyatakan bahwasannya dari kedua anak Nabi Ibrahim yang dijadikan sebagai tumbal adalah Ishak, bukanlah Ismail sebagaimana yang diyakini oleh Islam. Polemik ini kalau kita lihat dari sisi historis agama yahudi akan terlihat jelas bahwasannya perbedaan pandangan di atas memiliki sisi-sisi lain yang lebih signifikan daripada sisi historis, hal ini dalam pandangan mereka dikarenakan menyangkut permasalahan siapakah yang memiliki presedensi (hak lebih tinggi) untuk menjadi al-Sya‘b al-Mau‘uud (bangsa yang dijanjikan)? Disamping kisah pengorbanan di atas juga sebagai sebuah upaya koroborasi (penguat) siapakah diantara kedua keturunan (Ishak : “Bani Israil”dan Ismâ‘îl: “Arab”) yang lebih tinggi derajatnya?

Demikianlah ideologi yang diyakini oleh penganut Yahudi dan Nasrani, bahwasannya Ishaklah yang dijadikan sebagai tumbal oleh sang bapak guna memenuhi perintah Tuhannya, adapun diantara beberapas faktor yang dijadikan pijakan bagi mereka dalam hal ini adalah:

1. Sebuah riwayat dalam kitab Tawrât: “Bawalah anak satu-satumu yang engkau sayangi Ishak dan pergilah ke tempat penyembelihan kemudian angkatlah dia dalam keadaan tersembelih ke sebuah gunung yang telah Aku tunjukkan kepadamu”.15

2. Sebuah riwayat dalam kitab Injil: “Dengan penuh keimanan, Ibrahim sembahkan anak satu-satunya Ishak sedangkan ia saat itu sedang dalam keadaan teruji . . .”.16

Apabila kita hendak mendiskusikan kedua argumen diatas, maka ada beberapa dalih dan pernyataan yang kami anggap cukup representatif guna mengcounter kedua argumen tersebut, di antaranya adalah:

1. Pernyataan bahwasannya sang tumbal adalah Ishak dan merupakan anak Ibrahim satu-satunya merupakan sebuah pernyataan yang tidak akurat apabila ditinjau dari sisi historis kecuali apabila ditujukan kepada Ismail dalam empat belas tahun pertama dari umurnya, hal ini dikarenakan ia lahir lebih dahulu dari Ishak.

2. Bagaimana mungkin Ibrahim diperintahkan untuk menyembelih Ishak dimana pada saat yang sama ia merupakan anak yang dijanjikan akan lahir darinya sebuah bangsa yang dijanjikan, sebuah kontradiksi yang mustahil untuk diharmonisasikan antara keduanya, dimana problematika ini baru akan sirna jikalah Ishak telah tumbuh dewasa dan dianugerahi seorang anak untuk melestarikan keturunannya pada generasi-generasi selanjutnya.

3. Dalam upaya untuk memberikan solusi dari problematika diatas ada sebuah interpretasi baru yang digagas oleh para pemuka agama Nasrani yang menyatakan bahwasannnya disaat Tuhan memerintahkan Ibrahim untuk menyembelih Ishak sesungguhnya telah terdetik dalam diri Ibrahim bahwasannya Tuhan berkuasa untuk menghidupkan kembali hambanya yang telah meninggal. Sesungguhnya solusi permasalahan diatas disamping merupakan hal yang baru dan belum terpikirkan oleh para pemuka agama Yahudi, juga tidak luput dari sebuah kepincangan yaitu rendahnya kwalitas pengorbanan Ibrahim dan rasa kepaTuhan beliau terhadap Tuhannya, hal ini dikarenakan keyakinannya bahwasannya Tuhan hendak mengembalikan kehidupan kepada anaknya (Ishak) setelah beliau melakukan penyembelihan terhadapnya.

B. Pandangan Islam

Adapun Islam sebagaimana yang telah kami kemukakan diatas memandang bahwasannya Ismaillah sang tumbal tatkala turun wahyu kepada Ibrahim untuk mengorbankan anaknya dalam rangka pendekatan diri kepada Tuhannya, adapun diantara beberapa argumen yang dijadikan landasan untuk memperkuat ideologi ini adalah :

1.Sebuah riwayat yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas sebagai sebuah penafsiran terhadap surat As-Shâffat:107 (“Dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar), bahwasannya yang dimaksud dari ayat tersebut adalah Ismail.

2. Firman Tuhan dalam surat As-Shâffat:112 (“Dan kami beri dia kabar gembira dengan "kelahiran" Ishak seorang nabi yang termasuk dalam golongan orang-orang shaleh). Pernyataan kabar gembira pada ayat diatas setelah kisah pengorbanan menunjukkan bahwasannya Ishak bukanlah anak dimana Ibrahim diuji oleh Tuhannya untuk menyembelihnya disamping itu juga bagaimana mungkin Tuhan menyuruh Ibrahim untuk menyembelih Ishak dimana pada saat yang sama Tuhan menjanjikan untuk menjadikannya sebagai salah seorang Nabi di kemudian hari.

3. Firman Tuhan dalam surat Hûd:71 (“Maka kami sampaikan kepadanya berita gembira tentang “kelahiran” Ishak dan sesudah Ishak ‘lahir pula’ Ya‘kub”). Pemberitaan kabar gembira yang berupa kelahiran Ishak yang disertai dengan kelahiran Ya‘kub sesudahnya sangatlah tidak tepat kalau masa penyembelihannya dilakukan disaat ia (Ishak) telah menginjak pada umur dewasa.

4. Bukankah pada ritual haji yang dilakukan oleh kaum muslimin terdapat indikasi kuat bahwasannya lokasi pengorbanan Nabi Ibrahim adalah di Makkah dan bukan di Palestina dan anak yang bersamanya adalah Ismail bukan Ishak, disamping ritual haji itu sendiri merupakan sebuah implementasi riil dari rasa ta‘zhim kaum muslimin terhadap besarnya pengorbanan Nabi Ibrahim dalam memenuhi perintah Tuhannya.

Demikianlah, adapun kesimpulan yang bisa kita tarik dari paparan diatas adalah bahwasannya kisah Al-Qur’an bukanlah merupakan naskah imitasi atau salinan dari apa yang aslinya tertulis dalam Taurat maupun Injil, baik itu secara global maupun terperinci, hal ini dikarenakan kita dapatkan perbedaan persepsi yang cukup mendasar antara apa yang tersebut di dalam Al-Qur’an pada satu sisi serta Taurat dan Injil pada sisi yang lainnya, walaupun dalam beberapa tempat kita dapatkan kesamaan antara keduanya.

Adapun pendapat yang menyatakan bahwasannya kisah Al-Qur’an yang didengar oleh bangsa Arab pada masa turunnya Al-Qur’an merupakan apa yang telah mereka kenal sebelumnya, dalam hemat kami perlu ditelaah ulang, dimana kalaulah bangsa Arab pada saat itu telah mengetahui hakekat kisah Al-Qur’an maka rahasia dan hikmah apakah dibalik pemaparannya? Disamping jikalah mereka tidak mendapatkan didalamnya sesuatu yang baru dan menarik maka apakah mereka akan mendapatkan didalamnsya sebuah perkataan yang berguna? Walaupun pada hakekatnya kita tidak memungkiri bahwasannya bangsa Arab dikarenakan kondisi geografis dan sosial yang meliputinya disamping adanya interaksi dan dialog dengan beberapa bangsa dan penganut agama yang lain, mereka telah memiliki sedikit pengetahuan akan kejadian-kejadian historis yang pernah terjadi disekitarnya walaupun sifatnya masih sangat global dan kurang otentik. Adapun pengetahuan kisah dengan segala perincian dan hakikat-hakikatnya sebagaimana yang dibawa oleh Al-Qur’an dalam pandangan kami merupakan hal baru dan belum mereka ketahui secara pasti sebelumya, sebagaimana Al-Qur’an sendiri telah mengisyaratkan akan hal itu dalam beberapa ayatnya, seperti firman Tuhan dalam konteks penganugerahan kepada kaum Muslimin: “Sebagaimana kami telah mengutus kepadamu seorang rasul diantara kamu yang membacakan ayat-ayat kami kepada kamu dan mensucikan kamu dan mengajarkan kepadamu Alkitab dan hikmah serta mengajarkan kepada kamu apa yang belum kamu ketahui” (2:151). Jikalah bangsa Arab telah mengetahui akan hakikat kisah-kisah tersebut tentulah mereka akan mengatakan sebagaimana saudara-saudara Yusuf mengatakan tatkala mereka menemukan kembali barang-barang penukaran mereka: “Ini barang-barang kita dikembalikan kepada kita” (12:65).

Terdapat bukti lain yang menguatkan pendapat bahwasannya bangsa Arab mendapatkan sesuatu yang baru dalam kisah Al-Qur’an, yaitu, bahwasannya diantara mereka seperti Nadr bin Harist dalam beberapa kesempatan datang ke tempat perkumpulan khalayak ramai untuk menceritakan beberapa kisah tentang Parsi dan Romawi atau Arab sekalipun dalam upaya untuk memalingkan penduduk Makkah dari pengaruh Al-Qur’an, atas dasar itulah turun firman Tuhan dalam surat Luqman: 6, “Dan diantara manusia ‘ada’ orang yang mempergunakan perkataan yang tidak berguna untuk menyesatkan ‘manusia’ dari jalan Allah tanpa berdasarkan pengetahuan dan menjadikan jalan Allah itu sebagai olok-olokan, mereka itu akan memperoleh azab yang menghinakan”. Jikalah bangsa Arab tidak mendapatkan hal yang baru dalam kisah Al-Qur’an, tentulah mereka tidak membutuhkan dan akan memperdulikannya. Bahkan kisah-kisah Al-Qur’an yang berhubungan dengan Ahli Kitab sekalipun sesungguhnya para Ahli Kitab sendiri mendapatkan sesuatu yang baru darinya, atas dasar itulah ada asumsi yang menyatakan bahwasannya bangsa Arab telah mengetahui hakekat kisah Al-Qur'an merupakan sebuah gagasan yang menarik untuk kita diskusikan, dimana pemikiran diatas bisa jadi terilhami dari niat baik yang berupa pengokohan akan peradaban Arab sebelum Islam atau bahkan malah sebaliknya guna merendahkan apa yang dibawa oleh Al-Qur'an, akan tetapi, walau bagaimanapun juga, dalam hal ini merupakan langkah yang tepat kalau kita merujuk kepada Al-Qur'an tanpa dibarengi dengan tendensi hawa nafsu maupun fanatisme kesukuan dan jauh dari persangkaan-persangkaan yang tidak beralasan, karena sesungguhnya persangkaan itu tidak sedikitpun berguna untuk mencapai sebuah kebenaran (53:28).17

Thoha Husein dan kisah Al-Qur'an

Dalam pandangan dan keimanan setiap muslim, kisah dan kejadian-kejadian sejarah yang tertera dalam Al-Qur'an dilihat dari sudut pandang realitanya adalah benar adanya dan bahwasannya ambivalensi dari apa yang dihasilkan dari sebuah kajian sejarah yang bersifat absolut dengan kisah-kisah yang dibawa oleh Al-Qur'an tidaklah akan terjadi. Sebagai contoh pemaparan terminologi “al-malik” dan “fir'aun” dalam Al-Qur'an, kita dapatkan bahwa Al-Qur'an membedakan antara keduanya. Kata “al-malik” dalam Al-Qur'an identik dengan penguasa mesir (non pribumi) pada masa Nabi Yusuf di era Hexos, adapun penguasa Mesir (pribumi) pada masa Nabi Musa identik dengan sebutan “fir'aun” (sebuah julukan terhadap penguasa mesir semenjak era Akhnathon). Pemilahan pemakaian dua terminologi diatas sangatlah tepat dan akurat dengan hasil penelitian seorang pakar dalam bahasa Mesir kuno yang bernama Sir Alan Gardiner dalam sebuah prasasti yang ditemukannya.18 Disamping hal ini juga sebagai penguat akan unsur-unsur I'jaz yang terkandung didalam Al-Qur'an, dimana kalaulah kita mau meneliti lebih jauh kepada Taurat akan banyak kita dapatkan kontradiksi fakta antara hakikat-hakikat sejarah dengan substansi kandungan yang terdapat didalamnya. Sebagai contoh: dalam pemakaian terminologi “fir‘aun” sebagaimana yang tertera diatas dimana kita dapatkan Taurat memakai kata “fira'un” disaat ia harus memakai kata “almalik” dan demikian pula sebaliknya.

Ilmu sejarah dengan segala perangkat dan metodologi yang dimilikinya sangatlah memungkinkan untuk tidak dapat sampai kepada sebagian fakta-fakta sejarah yang tertera didalam Al-Qur'an. Kelemahan ilmu sejarah untuk mengetahui dan membuktikan fakta-fakta sejarah yang tertera di dalam Al-Qur'an dalam pandangan kami tidaklah berarti menafikan keotentikan Al-Qur'an, bahkan sesungguhnya apa yang dikonfirmasikan oleh Al-Qur'an dalam konteks diatas merupakan sebuah nilai tambah bagi ilmu sejarah itu sendiri.19

Thoha Husein dalam bukunya “Fî al-Syi‘r al-Jâhilî” merupakan sebuah contoh kongkrit dari problematika diatas. Beliau berpendapat bahwasannya kisah Ibrahim dan Ismail yang tertera didalam Al-Qur'an merupakan sebuah mitos dan kisah fiktif yang dibuat-buat oleh Yahudi demi sebuah kepentingan politik tertentu dan dimanfaatkan oleh Islam dalam rangka kepentingan yang sama. Pendapat ini, sebagaimana yang beliau ungkapkan, merupakan hasil dari sebuah pembuktian yang bersifat absolut. Adapun postulat yang dijadikan sandaran oleh beliau dalam hal ini adalah bahwasannya para cendikiawan telah bermufakat bahwa bangsa Arab terbagi menjadi dua golongan :

1.Golongan Qahthâniyyah (berdomisili di Yaman);

2.Golongan ‘Adnâniyyah (berdomisili di Hijaz).

Dalam sebuah penelitian baru disebutkan bahwasannya bahasa “Qahthâniyyin” berbeda dengan bahasa “‘'Adnâniyyin”. Atas dasar itulah, dikatakan bahwasanya penisbatan bahasa “‘Adnâniyyin” terhadap bahasa Arab yang digunakan oleh “Qahthâniyin” adalah sebagaimana penisbatan bahasa Arab terhadap bahasa-bahasa samiyah (semit) lainnya. Jikalah kisah Ibrahim dan Ismail sebagaimana yang diceritakan oleh Al-Qur'an benar adanya, dan bahwasannya Ismail (kakek moyang ‘Adnâniyyin) beserta segenap anak cucunya pernah belajar bahasa Arab dari golongan “Qahthâniyyah”, maka bagaimana mungkin terjadi kontradiksi yang sangat mencolok dan mendasar antar bahasa Arab golongan “‘Adnâniyyah” dan golongan “Qahthâniyyah”? Atas dasar itulah beliau berpendapat, bahwa dalam konteks di atas kita dihadapkan kepada dua tawaran, antara menerima kisah tersebut apa adanya dan menolak pembuktian yang bersifat absolut, atau malah sebaliknya. Dalam hal ini masih menurut beliau tidak ada alternatif lain kecuali menolak kisah dan menerima pembuktian yang (dianggap) bersifat absolut.

Muhammad Ahmad ‘Arfah (waka. Jurusan Syari'ah di Fak. Darul Ulum), ketika mengcounter pendapat Thoha Husein diatas menyatakan:

1. Al-Qur'an tidak pernah menyinggung kisah belajarnya Nabi Ismail bahasa Arab dari Qahthâniyah, melainkan yang tersebut di dalamnya adalah keberadaan Ibrahim dan Ismail disamping hijrah dan pembangunan Ka‘bah yang dilakukan oleh keduanya, adapun mereka yang mengatakan bahwasannya Ismail belajar bahasa Arab dari Qahthâniyyah adalah para sejarawan bahasa.

2. Pembuktian yang menyatakan bahwasannya telah terdapat perbedaan yang cukup mendasar antara bahasa ‘Adnâniyyah dengan Qahthâniyyah hanyalah sebatas menafikan belajarnya Ismail dan anak cucunya bahasa Arab dari Qahthâniyyah, dan bukanlah berarti penafian terhadap kisah secara keseluruhan.

3. Pernyataan bahwasannya dibalik kisah Ibrahim dan Ismail ada konspirasi kepentingan antara Yahudi, kaum musyrik Makkah dan Islam baik yang bersifat politik maupun agamis tidaklah dapat dibuktikan dengan teks-teks sejarah yang otentik dan akurat; hal ini baru sebatas dugaan-dugaan saja.

4. Lebih dari pada itu bahwa gagasan Thoha Husein dalam konteks diatas kalaulah kita mau lebih kritis dan teliti ternyata hanyalah sebatas penjiplakan dari buah pemikiran seorang missionaris berkebangsaan Inggris dalam usahanya untuk meragukan keotentikan dan keorisinilan substansi Al-Qur'an dalam sebuah buku yang berjudul “Dhail Maqâlah fi al Islam”.20

Demikianlah Thoha Husein dalam bukunya “Fî al-Syi‘r al-Jâhilî”, sebuah karya beliau yang banyak menimbulkan polemik dalam kancah pemikiran Mesir pada tahun1926-an, disamping masih banyak lagi terobosan pemikiran yang beliau gelindingkan dalam wacana pemikiran Mesir yang masih erat kaitannya dengan tema pembahasan makalah ini. Seperti pernyataannya bahwa ayat-ayat kisah dan sejarah dalam Al-Qur'an hanyalah terdapat pada ayat-ayat Madaniyyah saja dalam kapasitas untuk menguatkan pandangannya bahwa keadaan sosial masyarakat Makkah saat itu sangatlah rendah dan bahwasannya Muhammad banyak terpengaruhi dengan kultur Ahli Kitab saat beliau berada di Madinah. Pernyataan ini kalaulah kita rujuk kepada asbab nuzûl ayat sangatlah tidak akurat, bahkan sesungguhnya ayat-ayat kisah dan sejarah dalam Al-Qur'an malah lebih banyak kita dapatkan pada ayat-ayat Makkiyyah, seperti dalam surat Al-‘'A‘raf, Yûnus, Hûd, Al-Kahfi, Maryam, Thâhâ, Yûsuf dan Al-Syu‘arâ’, dimana kesemua surat tersebut sangatlah penuh dan kental dengan ayat-ayat kisah dan sejarah.

Muhammad Ahmad Khalfullah dan kisah Al-Qur'an

Tepatnya pada tahun 1946, Muhammad Ahmad Khalfullah dengan disertasi doktoralnya yang berjudul “Al-Fann al-Qashashî fî Al-Qur'an” telah menggoncangkan dunia pemikiran di Mesir dikarenakan substansinya yang penuh dengan gagasan-gagasan baru dan kontroversial seputar kisah Al-Qur'an, sehingga membuat Cairo University tempat dimana beliau mengajukan disertasinya mengumumkan untuk menolak disertasi tersebut. untuk disidangkan.

Adapun yang melatarbelakangi gagasan beliau sebagaimana yang ditulis dalam disertasinya adalah hasil riset dan penelitiannya yang menyatakan bahwa sebagian besar para mufassirin mengganggap bahwa kisah Al-Qur'an adalah bagian dari “mutasyâbih Al-Qur'an”, dimana fenomena ini dimanfaatkan betul oleh orang-orang kafir dan mereka-mereka yang memiliki persepsi yang sama dari para missionaris dan orientalis untuk menghujat validitasi Nabi dan Al-Qur'an. Mengenai faktor penyebab dari pemahaman para mufassirin diatas, sebagaimana yang ditulis dalam bukunya, adalah kepincangan metodologi yang mereka pakai dalam memahami hakikat kisah Al-Qur'an, dikarenakan metodologi yang mereka pakai adalah sebagaimana para sejarawan memahami dokumen-dokumen sejarah, tidak sebagaimana memahami teks-teks agama dan sastra. Atas dasar itulah, beliau berinisiatif untuk memahami kisah Al-Qur'an dengan memakai metodologi teolog, ahli bahasa dan para sastrawan sebagai sebuah solusi dari problematika diatas.

Mengenai faktor-faktor penunjang atas metodologi pemahaman yang ditawarkan oleh beliau adalah :

1. Integritas pemaparan kisah dalam Al-Qur'an tidaklah sebatas kepribadian para rasul dan nabi, akan tetapi lebih difokuskan pada tema-tema agama dan maksud dan tujuan dari pemaparan kisah itu sendiri baik yang berkaitan dengan masalah-masalah sosial maupun etika.

2. Pemaparan Al-Qur'an tentang sejarah tidaklah dimaksudkan pembahasan sejarah itu sendiri secara konvensional kecuali dalam beberapa tempat yang sangat jarang sekali, sehingga tidak memungkinkannya untuk dijadikan sebagai sandaran hukum secara umum, bahkan yang sering kita dapatkan malah sebaliknya dimana Al-Qur'an tidak banyak menyinggung komponen-komponen sejarah itu sendiri baik yang berhubngan dengan jaman maupun tempat.

3. kurangnya kepedulian para mufassir selama ini akan unsur penggambaran kisah Al-Qur'an dengan uslub dan kosa katanya yang bersifat mu'jiz dan indah.

4. Tidak mampunya para orientalis dalam memahami uslub dan metodologi Al-Qur'an dalam merekonstruksi sebuah kisah dan integritasinya dengan formula kisah itu sendiri, dimana fenomena diatas mendorong mereka untuk berkisimpulan bahwa telah terjadi sebuah evolusi karakter dan identitas di dalam Al-Qur'an.

5. Kelemahan mereka dalam memahami karakteristik substansi kisah Al-Qur'an beserta rahasia-rahasia yang terkandung didalamnya, sehingga mendorong mereka untuk berpendapat sebagaimana para pendahulu mereka dari kaum musyrikin Makkah dan murtaddin dari kaum muslimin yang menyatakan bahwasannya yang mengajari Muhammad adalah seorang manusia dan bahwasannya distorsi pemaparan sejarah banyak terdapat di dalam Al-Qur'an.21

Syubuhaat Khalfullah seputar kisah Al-Qur'an

Di antara beberapa gagasan yang dilontarkan oleh Khalfullah dalam rangka keluar dari tuduhan-tuduhan yang dilontarkan oleh para orientalis dan missionaris dalam memahami hakikat kisah Al-Qur'an sebagaimana yang telah disinggung diatas adalah :

Pertama:

Kurangnya komitmen Al-Qur'an terhadap realita sejarah dalam memaparkan ayat-ayat kisah dan sejarah, hal ini sebagaimana yang dinyatakan dalam bukunya: “Sesungguhnya kaum muslimin telah berupaya keras dalam memahami hakikat kisah Al-Qur'an melalui pendekatan sejarah, atas dasar itulah mereka banyak melandaskan pemahamannya terhadap kebudayaan sejarah, israiliyyat dan teori-teori yang masih sebatas hipotesa dengan harapan dari ketiga komponen diatas mereka dapat menghilangkan kesamaran sejarah yang terkandung dalam kisah Al-Qur'an baik yang berkenaan dengan jaman, tempat maupun personal . . . . . . dimana jikalah mereka berpaling dari landasan-landasan diatas dan berupaya untuk memahami Al-Qur'an dengan menggunakan metodologi seni sastra tentulah mereka akan terjauhi dari tuduhan-tuduhan yang dilontarkan untuk menghujat nabi dan Al-Qur'an”.

Adapun di antara rujukan yang dijadikan sebagai postulat bagi pembenaran gagasannya dari pendapat para ulama klasik maupun kontemporer adalah:

1. Pendapat pengarang Tafsir Al-Manar yang menyatakan bahwa apa yang diriwayatkan dari kisah Harut dan Marut sebagaimana yang tertera dalam surat Al Baqarah: 102, tentang sihir dan anggapan bahwasannya Nabi Sulaiman telah mengerjakan perbuatan kafir . . . . . . tidaklah mesti bahwa kejadian diatas benar-benar terjadi secara realita, sebagaimana juga pernyataan ‘Abduh bahwasannya kisah Al-Qur'an hanya diturunkan sebatas sebagai peringatan dan pelajaran bukan sebagai penjelasan sejarah. 22

2. Pendapat Ar Razi dan Nisaburi pada catatan kecil At Tabari dalam menafsirkan surat Yûnus:39, “Sesungguhnya ketika kaum musyrikin berasumsi bahwasannya kisah Al-Qur'an tidak lain hanyalah dongengan orang-orang dahulu, mereka belum memahami bahwa maksud dan tujuan dari pemaparan kisah tersebut bukanlah kisah itu sendiri, melainkan sebagi penjelasan akan kekuasaan Tuhan dalam bertindak di alam semesta ini.

Dari paparan tersebut Khalfullah mengklaim bahwa dirinya telah berhasil memberikan sebuah solusi dari problematika di atas dengan seruannya agar kita dapat memahami hakikat hubungan antara sastra dan sejarah, dimana Al-Qur'an dilihat dari aspek balaghah adabiyyah dan seni ceritanya tidaklah harus sesuai (konsekwen) dengan realita.

Catatan-Catatan:

1. Khalfullah dalam konteks di atas berupaya untuk memahami teks-teks Ilahi sebagaimana pemahamannya terhadap teks-teks manusia, dimana beliau juga menambahkan bahwasanya konteks diatas adalah murni kaitannya dengan masalah-masalah seni dan sastra dan tidak ada kaitannya dengan realita maupun dokumentasi sejarah, hal ini sebagaimana yang dilakukan oleh Shakespeare,Bernard Shaw, Syauqi … … dalam karya-karya mereka.

2. Sesungguhnya pernyataan para mufassirin baik klasik maupun kontemporer bahwasannya kisah Al-Qur'an hanya diturunkan sebagai peringatan dan petunjuk merupakan seruan bagi kaum muslimin untuk tidak membahas kisah itu sendiri secara mendetail dan bukanlah berarti bahwa makna-makna sejarah yang terkandung di dalam Al-Qur'an akseptabel untuk digugat dan diinovasi.

3. Apa yang tertera di dalam Al-Qur'an dari kejadian-kejadian yang sifatnya irrasional seperti pendengaran Nabi Sulaiman akan pembicaraan semut dan penaklukan bangsa jin dibawah kendalinya, bukanlah merupakan sebuah ambivalensi dengan rasio dan dalil-dalil yang sifatnya dogmatis. Bukanlah semua kejadian yang sifatnya ajaib merupakan sebuah kemustahilan, dikarenakan kalau demikian adanya maka akan berarti bahwasannya segenap mukjizat adalah mustahil sebagaimana juga penemuan-penemuan ilmiah baru yang oleh orang-orang dahulu sama sekali belum terbayangkan.

4. Kontradiksi antara apa yang dikisahkan Allah Swt. kepada kita dalam Al-Qur'an dengan fakta-fakta sejarah tidaklah akan terjadi kecuali dikarenakan dua faktor:

- Tidak adanya kisah Al-Qur'an dalam literatur sejarah, dengan kata lain bahwasannya sumber-sumber sejarah bersikap netral untuk menerima atau menolak terhadap kisah-kisah yang dibawa oleh Al-Qur'an.

- Adanya kontradiksi antara kisah Al-Qur'an dengan apa yang tertera dalam literatur sejarah.

Jikalah penyebabnya adalah faktor pertama, maka bukanlah ketidakmampuan kita dalam melacak kisah-kisah Al-Qur'an dalam literatur sejarah berarti sebuah bukti kongkrit akan ketidakberadaan kisah-kisah tersebut dalam realitanya. Adapun jikalah terdapat kontradiksi antara kisah Al-Qur'an dengan apa yang terdapat dalam literatur sejarah, maka dalam hal ini hendaklah kita melihat kepada substansi sejarah itu sendiri apakah ia bersifat mutawatir dalam periwayatannya sehingga layak bagi sebuah teks Al-Qur'an untuk diinterpretasi ulang sehingga selaras dengan fakta sejarah diatas ataukah ia sebatas zhanniyyat yang secara keotentikannya masih belum dapat dipertanggung jawabkan?

5. Adapun asumsi Khalfullah bahwasanya unsur sejarah bukanlah merupakan bagian dari maksud dan tujuan diturunkannya Al-Qur'an dan ketergantungan kita dengan realita kejadian-kejadian yang digambarkan oleh Al-Qur'an memberikan kesempatan bagi musuh-musuh Islam untuk menghujat nabi dan Al-Qur'an bahkan mendorong kaum muslimin untuk tidak mempercayai kandungan Al-Qur'an … …, Maka dalam hal ini kita akan balik bertanya: apakah solusi yang ditawarkan oleh beliau dalam memahami kisah Al-Qur'an dengan menjadikannya sebagai sebuah kreasi seni akan menjauhkan Al-Qur'an dari tangan musuh-musuhnya?

Kedua:

Asumsi Khalfullah bahwasannya Al-Qur'an mengandung dongengan orang-orang yang terdahulu, dimana diantara postulat yang dijadikan sandaran beliau dalam hal ini adalah anggapannya bahwa tatkala kaum musyrikin menyebutkan Al-Qur'an sebagai “asâthir al-awwalîn” bukanlah tanpa alasan dan dikarenakan kebodohan dan kedengkian mereka, melainkan hal ini merupakan hasil dari sebuah keyakinan kuat yang mereka yakini … … sebagaimana Al-Qur'an sendiri secara eksplisit tidak menafikan akan keberadaan “asathir” didalamnya, sebagaimana disebutkan dalam surat Al-Furqân:5-6, “Dan mereka berkata: dongengan-dongengan orang dahulu, dimintanya supaya dituliskan maka dibacakanlah dongengan itu kepadanya setiap pagi dan petang. Katakanlah: Al-Qur'an itu diturunkan oleh Allah yang mengetahui rahasia di langit dan di bumi. Sesungguhnya Dia adalah Mahapengampun lagi Mahapenyayang”. Pada ayat diatas, Al-Qur'an hanyalah sebatas menafikan anggapan bahwa dongengan-dongengan tadi merupakan karya Muhammad, disamping juga untuk menguatkan bahwasannya ia adalah benar-benar diturunkan oleh Allah Swt. … … Atas dasar itulah, pendapat yang menyatakan bahwasannya Al-Qur'an mengandung dongengan-dongengan, dalam hemat beliau, bukanlah merupakan satu hal yang kontradiktif dengan teks-teks Al-Qur'an itu sendiri. Masih menurut beliau, bahwasannya pembahasan Al-Qur'an tentang “asâthir” timbul disaat ia berinteraksi dengan penduduk Makkah yang mayoritas mereka terdiri dari kaum musyrikin, dimana pada saat yang sama kita tidak mendapatkan satupun dari ayat-ayat Madaniyyah yang membahas topik diatas (sebuah fenomena menarik yang membutuhkan interpretasi lebih jauh).

Catatan penulis:

1. Sesungguhnya kisah-kisah Al-Qur'an merupakan kumpulan berita dan kejadian sejarah yang terkonstruksi secara rapih dan kokoh dari sebuah hakikat yang bersifat absolut dan belum tersentuh dengan hal-hal yang bersifat utopian dan imajinatif. Aallah berfirman: “Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal. Al-Qur'an itu bukan cerita yang dibuat-buat akan tetapi membenarkan ‘kitab-kitab’ yang sebelumnya dan menjelaskan segala sesuatu dan sebagai petunjuk dan rahmat bagi kaum beriman. (12:111)

2. Sebuah ambivalensi telah terdapat dalam alur pemikiran Khalfullah, dimana pada salah satu kesempatan beliau menyatakan bahwasannya perkataan “asathir” di dalam Al-Qur'an hanyalah terdapat pada ayat-ayat Makkiyyah saja dikarenakan faktor lingkungan jahiliyyah saat itu dan tidak kita dapatkan pada ayat-ayat Madaniyyah dikarenakan lingkungan Madinah yang telah berperadaban, dan pada kesempatan lain beliau juga menyatakaan bahwasanya tatkala penduduk Makkah menisbatkan kisah-kisah Al-Qur'an sebagai dongengan-dongengan belaka hal ini bukanlah dikarenakan kebodohan mereka akan realita-realita sejarah, dimana pada saat yang sama sangkaan-sangkaan bathil tersebut tidak terdetik dalam diri penduduk Madinah.

3. Adapun asumsi Khalfullah bahwasannya Al-Qur'an itu sendiri tidak menafikan akan adanya dongengan-dongengan belaka didalamnya, melainkan yang dinafikan adalah kalaulah dongengan-dongengan tadi merupakan hasil kreasi Muhammad, dalam hemat kami, merupakan sebuah kekeliruan. Berkenaan dengan surat Al-Furqon:5-6, sebagaimana yang dijadikan pijakan oleh beliau, bahwasannya pernyataan orang-orang kafir: “Al-Qur'an adalah dongengan orang-orang dahulu, dimintanya supaya dituliskan” sesungguhnya yang dijadikan sebagai obyek pada pernyataan diatas adalah Al-Qur'an secara keseluruhan dan bukanlah sebatas pada kisah Al-Qur'an itu sendiri, dalam hal ini akan sangat transparan kalau kita merujuk kepada konteks diturunkannya ayat diatas sebagaimana yang difirmankan dalam surat Al-Furqân:1-6.

Maka apakah tuduhan orang-orang kafir “Al-Qur'an itu tidak lain hanyalah kebohongan yang diada-adakan”, kemudian pernyataan mereka: “Dongengan orang-orang dahulu dimintanya supaya dituliskan” ditujukan kepada kisah Al-Qur'an secara khusus ataukah Al-Qur'an secara keseluruhan ?

Sesungguhnya ada dua pernyataan yang dilontarkan oleh orang-orang kafir dalam konteks ayat diatas :

- Al-Furqân:4 (“Dan orang-orang kafir berkata: ‘Al-Qur'an ini tidak lain hanyalah kebohongan yang diada-adakan oleh Muhammad dan dia dibantu oleh kaum yang lain’”).

- Al-Furqân:5 (“Dan mereka berkata: ‘Dongengan-dongengan orang-orang dahulu, dimintanya supaya dituliskan maka dibacanya dongengan itu kepadanya setiap pagi dan petang’”).

Kedua pernyataan diatas bermuara pada satu substansi yang sama, yaitu bahwasannya Al-Qur'an merupakan hasil kreasi Muhammad yang dia peroleh dari orang lain, dimana kalaulah kita merujuk kepada Al-Qur'an itu sendiri kita dapatkan bahwasannya ia sendiri telah mengcounter pernyataan pertama, sebagaimana yang tertera dalam firmanNya: “Maka sesungguhnya mereka telah berbuat suatu kezaliman dan dusta besar”, dan pernyataan kedua dalam firmanNya: “Katakanlah: Al-Qur'an itu diturunkannya oleh Allah yang mengetahui rahasia di langit dan dibumi. Sesungguhnya Dia adalah Mahapengampun lagi Mahapenyayang”. Maka, apakah logis bagi yang maha mengetahui segala rahasia di langit dan bumi untuk berinteraksi dengan dongengan-dongengan belaka dan menjadikannya sebagia alat bantu dalam upaya mensosialisasikan nilai-nilai uluhiyyat kepada hamba-hamba-Nya?23

Ketiga:

Diantara beberapa postulat yang dijadikan penguat oleh Khalfullah atas gagasannya, bahwa Al-Qur'an adalah human expression dan bahwasannya pemberitaan gaib Al-Qur'an bukanlah merupakan sebuah mukjizat dan realita yang harus diyakini keberadaannya, adalah asumsi beliau bahwa terdapat banyak kontradiksi dalam kisah Al-Qur'an, sebagai contoh adalah pemberitaan Al-Qur'an tentang awal peneriman wahyu oleh nabi Musa dan percakapan Tuhan dengan-Nya sebagaimana yang tertera pada tiga surat dalam Al-Qur'an (thâhâ, an-Naml dan Al-Qhashas).

Catatan Catatan:

1.Sebagian ahli tafsir dalam memberikan solusi atas problematika diatas yang secara eksternal terdapat kontradiksi menyatakan bahwasannya pada kisah Musa diatas, Al-Qur'an hanyalah sebatas menggambarkan akan kondisi suatu kaum yang tidak berkomunikasi dengan bahasa Arab, atas dasar itulah bahwasannya penerjamahan makna-makna Al-Qur'an tidaklah mengandung mukjizat secara linguistik sebagaimana yang dibawa oleh Al-Qur'an itu sendiri, dikarenakan tarjamah tersebut kembali kepada perkataan manusia.24

2. Sesungguhnya penggambaran Al-Qur'an akan setiap kisah yang diceritakannya bersifat komprehensif, akurat dan sesuai dengan realita kejadiannya dan bahwasanya perbedaan ekspresi dan uslub dalam satu kisah yang sering kita dapatkan dalam Al-Qur'an pada hakekatnya merupakan sebuah gambaran kisah tersebut secara keseluruhan, dimana kita seakan-akan mengambil beberapa episode dalam beberapa tempat yang berlainan sehingga apabila kita satukan akan terlihat jelas adanya satu integritas kisah dalam Al-Qur'an, melainkan dikarenakan hikmah dan rahasia tertentu dan dalam upaya korelasi antar ayat dan surat dalam Al-Qur'an kita dapatkan pembagian episode-episode kisah dalam beberapa surat yang berlainan, disamping kalau kesemuanya dikumpulkan dalam satu tempat hal ini akan mengundang rasa jenuh dan bosan bagi pembacanya. Sebagai contoh adalah pemaparan Al-Qur'an dalam tiga surat yang berlainan dalam konteks kisah Nabi Musa yang oleh sebagian orang dianggap sebagai sebuah kontradiksi dalam Al-Qur'an:

- Surat Thâhâ yang diturunkan dalam rangka untuk menstimulir rasulullah dalam berdakwah disamping untuk meringankan beban psikologis yang dideritanya, maka diceritakanlah kisah Nabi Musa dan pertolongan Tuhan atas dirinya supaya dijadikan pelajaran bagi Rasulullah bahwasanya pertolongan Tuhan merupakan sunnatullah dan selalu akan bersama para rasul dan nabi-Nya.

- Adapun pada surat An Naml yang datang dengan sebuah misi bahwasannya Al-Qur'an merupakan wahyu Ilahi yang diterima oleh Rasulullah dari sisi yang Mahabijaksana lagi Mahamengetahui, maka diantara tanda-tanda kebijaksanaan dan pengetahuanNya adalah seruan dan panggilanNya terhadap Musa di tempat yang sunyi dan senyap seraya berfirman kepadanya: “Sesungguhnya akulah Allah yang Mahaperkasa lagi Mahabijaksana”.

- Sedangkan pada surat Al-Qhashas yang penuh dengan kisah Nabi Musa khususnya sebelum memasuki masa kenabiannya dan bahwasannya karunia Tuhan akan selalu bersama orang-orang yang tertindas dari hamba-hambanya yang beriman, maka dalam konteks di atas merupakan sebuah akurasi yang sangat indah dan tempat sekali ketika Allah berfirman: “Wahai Musa, sesungguhnya aku adalah Allah, Tuhan semesta alam”.25

Kesimpulan

Dalam rangka memformat sebuah metodogi berinteraksi yang pas dan akurat dengan ayat-ayat kisah dalam Al-Qur'an kita dihadapkan kepada dua pendapat yang sama-sama memiliki kepincangan dan kekurangan:

1.Mereka yang “overstatement” dalam memahami kisah Al-Qur'an, dalam hal ini terimplementasikan dalam kelompok yang menjadikan Al-Qur'an sebagai kitab sejarah sehingga indikasinya mereka terlalu disibukkan dengan pembahasan komponen-komponen yang terkandung dalam sebuah kisah seperti pembahasan tentang identitas personal,jaman dan tempat.

2.Kelompok “Minusstatement” hal ini bisa kita lilhat pada sosok Thoha Husein dan Khalfullah, dimana mereka memandang bahwasannya Al-Qur'an mengandung distorsi sejarah dan pemaparan Al-Qur'an tentang ayat-ayat kisah tidaklah harus diyakini keberadaannya dalam realita kehidupan.

Atas dasar itulah dan dalam upaya untuk keluar dari dilema di atas kami berpendapat bahwasannya kisah Al-Qur'an bukanlah seperti kisah sejarah yang banyak menekankan pada pembahasan komponen-komponen yang terkandung di dalamnya melainkan sebuah kisah yang penuh dengan hakekat-hakekat ilahiyyat, pelajaran dan petunjuk hidup bagi segenap umat manusia (12:111/ 27:76-77) dan bahwasannya besarnya intensitas kita terhadap kisah Al-Qur'an hendaknya sesuai dengan besar intensitas Al-Qur'an itu sendiri, dikarenakan hal ini disamping untuk mendekatkan kita kepada hikmah diturunkannya kisah Al-Qur’an juga merupakan sebuah langkah defensif atas masuknya israiliyyat dalam interpretasi ayat-ayat kisah dalam Al-Qur'an sebagaimana yang banyak kita dapatkan dalam literatur tafsir klasik. Disamping itu juga bahwasannya kedudukan Al-Qur'an sebagai sebuah kitab petunjuk tidaklah berarti bahwasannya kisah-kisah yang terdapat di dalamnya mengandung nilai mitos, fiksi dan jauh dari realita (3:62).

Wa akhiran, bahwasanya kekurangan dan kelemahan sudah merupakan tabiat bagi setiap manusia.Dan kesempurnaan hanyalah otoritas Tuhan belaka yang tidak dimiliki oleh seorangpun dari makhluknya. Atas dasar itulah kritikan dan masukan terhadap substansi makalah ini sangat besar kami harapkan sebagai langkah untuk saling mengisi dan berdialog guna pencapaian sebuah kebenaran.

Madinah Bu'uts, 6 Oktober 2000, disadur Suprastyo 10 Agustus 2011

Catatan pustaka:

1. M Abdullah Darraz, Madkhal ila Al-Qur'an Al-Karîm, hal 49.

2. Abdul Karim Khatib, Al-Qishas Al-Qur’ani, hal 52.

3. DR. Bayoumi Mahran, Dirasat Tarikhiyyah min Al-Qur’an Al-Karim fi Bilad Al-‘Arab, Daar Al-Ma'rifah Al-Jami'iyyah, hal 6-7.

4. Sir William Muir, The life of Mohammad and history of Islam, Edinburgh, 1923.

5. Lihat kisah Musa as. (Al-Baqarah: 47-74/Al-A‘raf: 104-155/Yûnus: 75-93/Thaha: 9-99/Al Syu‘ara 10-68/ Al-Qashas: 3-44/Ghâfir: 23-54).

6. Lihat tentang Ahdaaf Al-Qur’an wa Maqâsiduhû, Tafsir Al-Manâr: 1/207-293.

7. Goldziher, Al-'Aqidah wa Al-Syari'ah fi Al-Islam, tarjamah DR M Yusuf Musa, hal 12 dan 15. Lihat juga Alfred Guillaume, Islam, Pelican books, 1964, pp.61-62.

8. Muhammad Ahmad Khalfullah, Al-Fann Al-Qashashi fi Al-Qur’an, Sina li al-nasyr.

9. M. Abdullah Darraz, op.cit. ,hal 134. Lihat juga Huart, Une nouvella source du koran, 1904, p 129.

10. M Abu Zahrah, Al-Qur’an, hal 363.

11. Malik bin Nabi, Al-Zhahirah Al-Qur’aniyyah, Daar al-Fikr, hal 310.

12. Malik bin Nabi, ibid., hal 311-322.

13. M Abdullah Darraz, op.cit., hal 106-107.

14. T Noeldeke, Geschichte des Quarans, 1961, p.16.

15. Risalah Al-Takwin, 22:2.

16. Al-Risâlah ila Al-‘Ibraniyyin, 11:17-19.

17. DR. Fadl Hasan Abbas, Qadlâyâ Qur’aniyyah fi Al-Mausû‘ah Al-Brithaniyyah, Daar al-Basyir, Amman.

18. A.H.Gardiner, Egypt of the pharaohs, Oxford, 1964, p.52.

19. M Ghazali, Nazharaat fi Al-Qur’an, Daar al-Kutub Al-Haditsah, hal 122.

20. M. Ahmad 'Arfah, Naqd Matha'in fi Al-Qur’an Al-Karim, Maktabah Azzahra.

21. Ahmad Khulfullah, op.cit., Sina li al-nasyr.

22. M Rasyid Ridho, Tafsir Al-Manâr, 1/329-330.

23. DR Sholah Ya'kub Yusuf Abdullah, Al ‘Almaniyyûn Wa Al-Qur’an, disertasi doktoral di Fakultas Usuluddin, Al-Azhar University, Kairo, jurusan Tafsir dan Ulûm Al-Qur’an.

24. DR Abdurrahman Jirah, At Tabsyir wa Qûwa Al-Istinârah fi Misr.

25. DR Muh. Mahmud Hijazi, Al-Wihdah Al-Maudhu'iyyah fi Al-Qur’an Al-Karîm, Daar al kutub al haditsah.

*Alumni KMI Pondok Modern Gontor tahun 1993, berasal dari Cirebon. Menyelesaikan pendidikan S-1-nya di Universitas Al-Azhar di Kairo, Fak. Ushuluddin, jur. Tafsir, pada tahun 2000. Kini sedang memulai masuk program pascasarjana di almamaternya. Penulis adalah seorang hâfizh Al-Qur’an 30 juz yang diselesaikannya di bawah asuhan KH Mufid, PP. Sunan Pandan Arang, Kaliurang, Yogyakarta.